Efektivitas Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

untuk Guru dan Mahasiswa Calon Guru

Monday, October 29, 2012

Efektivitas Pembelajaran Penemuan (Discovery Learning)

Efektifkah Model Pembelajaran Penemuan itu?

Apakah model pembelajaran penemuan (discovery learning) efektif  untuk diterapkan oleh para guru? Berikut adalah ulasan yang ditulis oleh Corno & Snow, 1986; Slavin, Karweit & Madden, 1989) tentang efektivtas discovery learning.

Umumnya para ahli psikologi dan pendidik sepakat bahwa siswa harus memahami informasi saat mempelajari sesuatu dan mengingatnya. Jika siswa hanya sekedar mengingat (menghafal) daftar-daftar dan fakta-fakta saja, maka akan terbentuk pemahaman superfisial dan dengan mudah akan dilupakan. Bila siswa bergulat dengan masalah-masalah nyata, menguji solusi-solusi yang mungkin, dan akhirnya  menemukan sendiri struktur fundamental suatu konsep kunci, mereka sepertinya akan lebih memahami dan mengingat informasi tersebut dengan baik. Akan tetapi, kritik-kritik terhadap model pembelajaran penemuan (discovery learning) telah membawa kita pada sebuah pertanyaan penting: Apakah discoveri learning (pembelajaran penemuan) itu efektif dilaksanakan?

Discovery Learning Sesuai dengan Teori Perkembangan Kognitif

Para pendidik yang menyukai discovery learning mencatat bahwa pendekatan/model/ metode ini konsisten dengan cara-cara seseorang belajar dan berkembang. Misalnya, Jerome Brunner (1966, 1971) mengidentifikasi 3 tahap perkembangan kognitif, mirip dengan 3 tahap yang diidentifikasi oleh Piaget. Brunner yakin bahwa anak-anak berkembang dari tahap enaktif (enactive stage) ke tahap ikonic (iconic stage) dan berikutnya berkembang ke tahap simbolik (symbolic stage). Pada tahap enaktif (mirip dengan tahap sensori motor Piaget), anak-anak merepresentasikan dan memahami dunia melalui aksi—untuk memahami sesuatu mereka harus memanipulasinya, mencicipinya, melemparnya, menghancurkannya, dan sebagainya. Pada tahap ik onik, anak-anak merepresentasikan dunia dengan gambar-gambar—penampakan lebih dominan. Tahap ini berkoresponden dengan tahap berpikir praoperasional Piaget, di mana dicontohnya makin tinggi ketinggian air di dalam gelas, berarti bahwa ada lebih banyak air di dalam gelas itu, karena hal tersebut kelihatannya-penampakannya benar begitu. Hal ini terjadi tanpa mereka mempertimbangkan diameter gelas yang bisa saja berbeda dan air yang tampak tinggi belum tentu lebih banyak jumlahnya dibanding air yang terdapat di gelas lain. Pada tahap akhir, anak-anak mulai dapat menggunakan ide-ide abstrak, simbol, bahasa, dan logika untuk memahami dan merepresentasikan dunia. Aksi-aksi dan gambar-gambar masih dapat digunakan dalam berpikir, tetapi tidak lagi bersifat dominan.

Discovery learning (pembelajaran penemuan) memungkinkan siswa untuk bergerak pada ketiga tahapan tersebut di atas saat mereka berhadapan dengan informasi-informasi baru. Pertama-tama siswa akan memanipulasi dan berbuat sesuatu terhadap bahan-bahan; kemudian mereka akan membentuk gambar-gambar saat mereka mencatat ciri-ciri khusus dan melakukan observasi. Karena siswa mengalami ketiga tahap tersebut di atas, Brunner yakin siswa akan memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang suatu topik. Saat siswa termotivasi dan benar-benar berpartisipasi di dalam proyek penemuan (discovery project), pembelajaran penemuan atau discovery learning akan membawa pada proses belajar yang sangat baik (Strike, 1975).

Discovery Learning Tak Dapat Dipraktikkan?

Pada teorinya, discovery learning kelihatan sangat ideal, tapi pada praktiknya terdapat permasalahan-permasalahan. Agar sukses, proyek penemuan (discovery project) seringkali membutuhkan bahan-bahan khusus dan persiapan yang ekstensif (luas), dan persiapan ini tidak dapat menjamin akan adanya kesuksesan. Misalnya, suatu pembelajaran penemuan tentang efek cahaya terhadap tumbuhan memerlukan waktu berjam-jam dan seringkali gagal karena tumbuhan yang ditanam di tempat gelap dan di temapt terang tidak tumbuh sebagaimana yang diharapkan—ada sangat banyak faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman selain cahaya (Anderson and Smith, 1987).

Agar pada situasi pembelajaran penemuan didapatkan benefit, siswa harus mempunyai pengetahuan dasar tentang masalah yang akan dipelajari dan tahu bagaimana mengaplikasikan strategi-strategi pemecahan masalah. Tanpa pengetahuan dan keterampilan-keterampilan ini, mereka akan menyerah dan frustasi. Bukannya memperoleh pelajaran dari bahan-bahan tersebut, mereka justru akan bermain-main dengannya. Sedikit siswa yang brilian mungkin akan memperoleh “penemuan-penemuan”, sementara kebanyakan yang lainnya akan kehilangan minat dan menunggu secara pasif terhadap orang lain yang mungkin akan menyelesaikan proyek penemuan itu. Alih-alih memperoleh keuntungan dari penjelasan guru yang terorganisasi dengan baik, justru siswa-siswa yang tak berhasil memperoleh “penemuan” ini akan mendapatkan penjelasan yang keliru dari dari siswa-siswa yang tak dapat mengkomunikasikan apa yang telah mereka “temukan” dengan bahasa yang tepat.

Para kritikus pembelajaran penemuan (discovery learning) yakin bahwa pembelajaran penemuan tidak efektif dan terlalu sulit untuk diorganisasikan. Pendapat ini tentunya akan sangat tepat bila guru berhadapan dengan siswa-siswa dengan kemampuan rendah. Discovery learning mungkin tidak tepat untuk mereka karena meminta terlalu banyak, sementara siswa-siswa tidak atau kurang memiliki latar belakang pengetahuan yang cukup dan keterampilan-keterampilan pemecahan masalah yang diperlukan untuk menjamin kesuksesan pelaksanaan discovery learning. Banyak hasil penelitian justru menunjukkan bahwa model pembelajaran penemuan (discovery learning) tidak efektif dan bahkan melemahkan pada anak-anak berkemampuan rendah.

No comments:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...