Scaffolding – Contoh Implementasi pada Pendidikan Anak Usia Dini

untuk Guru dan Mahasiswa Calon Guru

Sunday, March 1, 2009

Scaffolding – Contoh Implementasi pada Pendidikan Anak Usia Dini

Scaffolding – Contoh Implementasi pada Pendidikan Anak Usia Dini

Muhammad Faiq Dzaki

Tahap perkembangan anak usia dini terbagi dalam beberapa aspek yang berintegrasi satu dengan yang lain; yaitu:
1. aspek fisik
2. intelektual
3. seni
4. emosional

Setiap anak usia dini memiliki ciri perkembangan berdasarkan usia. Pencapaian tahap perkembangan aspek fisik pada anak usia 2 tahun berbeda dengan tahap perkembangan fisik anak usia 3 tahun. Ahli-ahli pendidikan anak usia dini telah melakukan pengamatan dan mencatat tahap-tahap perkembangan anak setiap aspek berdasarkan usia. Tahap-tahap perkembangan anak usia dini (Child Development) menjadi dasar untuk melihat keberhasilan dan kemajuan perkembangan anak. Aspek-aspek perkembangan anak merupakan satu bagian yang terintegrasi satu dengan yang lain. Karena itu bentuk scaffolding di dalam suatu saat dapat saja terintegrasi namun terdapat juga saat di mana scaffolding hanya dibutuhkan oleh aspek tertentu.

Contoh implementasi scaffolding dalam pendidikan anak usia dini penulis ambil dari salah satu daily plan kurikulum play group bilingual. Tema belajar adalah “My Vegetables”dengan sub tema “Cauliflower”. Desain tema dalam kurikulum seperti ini membuka banyak peluang terjadinya interaksi belajar; anak belajar mengenal sayur-sayuran; sesuatu hal yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Pada aspek keterampilan motorik halus, anak melatih kelenturan otot jari tangan dengan memetik kuntum bunga kol.Sementara setiap anak memegang bunga kol,guru mencontohkan cara memetik kuntum bunga kol di hadapan mereka (zona perkembangan terdekat/zone of proximal development). Timbul dalam benak anak, bahwa memetik kuntum bunga kol adalah sesuatu pekerjaan dapat dilakukannya sendiri. Anak mengamati bentuk bunga kol yang ada ditangannya (menjadi pembelajar mandiri/learner autonomy); dan memperhatikan cara guru atau teman lainnya memetik kuntum bunga kol (menjadi pembelajar kelompok/cooperative learning).

Dalam hal memetik kuntum bunga kol, pemagangan kognitif tampil dengan ciri khasnya yaitu pemodelan oleh guru, penekanan; yaitu tekanan proses belajar pada latihan keterampilan otot jari, eksplorasi; yaitu mengenai manfaat, habitat dan pengolahan sayur bunga kol dan petunjuk yang meningkat kompleksitasnya; yaitu mulai dari mengenggam, memetik, mengelompokkan, dan menghitung kuntum bunga kol. Instruksi pelajaran; yang menuntun anak melakukan sesuatu dengan perintah yang jelas - meminta anak memetik kuntum bunga kol yang ada di gengaman tangannya sampai selesai; dapat menumbuhkan ketekunan dalam diri anak untuk mencapai keberhasilan (aspek emosional).Guru melakukan proses penilaian/assessment dengan sebelumnya sudah mengetahui level of actual development; yaitu belum tentu semua anak telah dapat memetik kuntum bunga kol (menurut Table Child Development).

Sedangkan level of potential development yang akan diobservasi adalah anak mampu memetik kuntum bunga kol paling sedikit 8 kuntum.Dalam 5 – 10 menit pertama, dapat diprediksi bahwa anak akan mengalami kesulitan karena jari-jari tangan belum terbiasa memetik kuntum bunga kol. Di saat ini, guru perlu menahan diri dan memberikan kesempatan pada anak untuk mengalami kesulitan; guru perlu tahu saat yang tepat untuk memberikan bantuan. Hindari bentuk-bentuk interferensi yang berpotensi menggangu proses belajar anak. Anak akan menyerukan permintaan bantuan. Di sinilah, guru menerapkan scaffolding; yaitu berupa memegang jari anak dan memberi kekuatan tertentu untuk memetik kuntum bunga kol bersama. Setelah itu,berilah kesempatan anak untuk kembali mencoba sendiri; tariklah scaffolding secara bertahap. Setelah paling sedikit 8 kuntum bungakol berhasil dipetik oleh jari tangan anak sendiri,maka anak telah mencapai level of potential development. Kadang kala sangat menarik dan lucu, saat terjadi anak berusaha menolong teman untuk memetik kuntum bunga kol; membagikan keterampilan yang baru saja dikuasainya; yang sebetulnya merupakan suatu bentuk internalisasi konsep pengetahuan baru ke dalam dirinya. Kejadian seperti ini dapat menjadi sumber tulisan narasi yang kreatif untuk dicatatkan dalam laporan perkembangan anak.

Implementasi scaffolding lainnya juga terlihat dalam contoh lebih sederhana sebagai berikut: seorang anak perempuan yang berumur 2,5 tahun dengan gembira memilih dan berusaha mengenakan sendiri baju yang akan dipakainya dan tidak mengijinkan ibunya membantu. Pada usia 2,5 tahun menurut tabel Perkembangan Anak (Child Development); tingkat erkembangan riil (level of actual development) pada aspek intelektual antara lain adalah anak memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi; dan pada aspek fisik sedang ingin mencoba melenturkan otot jemari tangannya. Anak belum dapat mengenakan baju sendiri, tetapi membutuhkan bantuan; berarti anak berada pada tingkat perkembangan potensial (level of potential development).

Pada waktu ini potret pembelajaran konstruktivisme sedang berlangsung; yaitu pengetahuan dibangun sendiri oleh anak secara aktif; tekanan proses belajar adalah pada anak dan bukan pada hasil belajar. Saat sang ibu mengamati anak sedang berusaha dengansungguh-sungguh mengenakan baju, timbul keinginan yang sangat besar untuk segera membantu; tetapi anak belum merasa perlu adanya scaffolds. Bila scaffolds tidak tepat waktu, akan terjadi interferensi; anak tidak merasakan keberhasilan pencapaian suatu indikator; bantuan ibu akan menyelesaikan semua proses mengenakan baju. Beberapa saat kemudian anak menyerukan perlunya bantuan; ini menunjukkan aspek emosi yang sesuai yaitu anak segera mencari pertolongan untuk mendapatkan bantuan. Saat anak telah membuka diri terhadap bantuan, scaffolding dibutuhkan. Ibu berperan Sebagai fasilitator; mencontohkan cara mengancing satu mata kancing baju. Pada waktu ini, ibu berbicara mengenai cara mengancing baju dan akan menjadi kosa kata baru bagi anak (aspek bahasa).Komunikasi dan penggunaan bahasa menjadi suatu media yang baik untuk melancarkan internalisasi konsep ke dalam diri anak. Anak mengendapkan konsep itu ke dalam pikirannya; biasanya muncul dalam bentuk self talk (berbicara sendiri) anak kepada dirinya. Setelah mendapatkan scaffolds, anak akan mencoba lagi mengenakan bajunya. Disini, bentuk scaffolding telah cukup dan perlu dihentikan secara bertahap. Anak telah menguasai keterampilan mengenakan baju lebih baik dari sebelumnya. Anak merasakan keberhasilan mencapai suatu indikator. Dari dua contoh sederhana di atas dapatlah disepakati bahwa suatu pemberian scaffoldingyang efektif adalah tepat waktu dan setelah itu ditarik kembali secara bertahap setelah ditandai dengan diperolehnya keterampilan baru Yang lebih baik dari sebelumnya yang berhasil dilakukan sendiri oleh anak pada tingkat perkembangan potensialnya. Dengan demikian, penilaian terhadap anak mencakup tingkat perkembangan riil; yaitu ketika anak mendemonstrasikan suatu keterampilan tanpa bantuan; sampai dengan tingkat perkembangan potensial (level of potential development). Bentuk assessment dapat berupa laporan narasi yang menyebutkan perbandingan dan bentuk keberhasilan kedua level perkembangan tersebut.

Implementasi scaffolding dapat dengan mudah kita temukan dan terapkan dalam kehidupan sehari-hari anak usia dini. Faktor-faktor yangsederhana namun penting untuk diingat dalam implementasi scaffolding adalah bahwa pertama, kebutuhan terhadap scaffloding datang dari inisiatif anak; karena kalau bukan datang dari anak, scaffolding akan berubah menjadi suatu interferensi terhadap proses belajar anak. Suatu interferensi terhadap proses belajar anak disadari atau tidak akan menyemaikan sifat ketergantungan yang akan menimbulkan kesulitan yang lebih besar lagi di masa depan.Yang kedua, scaffolding sesuai dengan pesan pendidikan Vygotsky adalah menyediakan lingkungan sosial yang kaya dengan aktifitas yang berada dalam zona perkembangan terdekat anak dan kesempatan yang melimpah untuk bermain peran. Situasi belajar yang baik akan mereduksi peran guru (teacher centered) dan meningkatkan kemandirian belajar anak (student centered); sedemikian hingga muncul suasana yang merangsang tumbuhnya sifat pembelajaran dengan disiplin diri tinggi untuk tingkat pendidikan yang lebih lanjut kelak.

1 comment:

Anonymous said...

bagus... makasih buat bikin tugas....

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...